Umnn berhubung ini waktu menjelang berbuka, gue memutuskan untuk ngabuburit disini aja (alah bilang aja cel ga ada yang ngajak) *prokprokprok*
Jadi ceritanya gue baru aja nemu cerpen jaman kelas 12 buatan gue. Iyaa, jadi dulu guru Bahasa Indonesia gue nugasin buat bikin cerpen gitu tapi berdasarkan pengalaman pribadi teman kita. Ya demi menjaga harkat martabat si empunya cerita, namanya gue samarkan...
So, check this out!!
Setahun Lebih Cepat
Matahari mulai beranjak
naik, Dila begitu bersemangat seolah-olah ini merupakan peristiwa yang baru
pertama kali ia alami. Seperti hari-hari sebelumnya, Dila akan diajak oleh
Bunda pergi ke sebuah supermarket.
“Bunda,
kita jadi pergi ke supermarket kan?” ucap Dila dengan polos
dan penuh harap. “Iya sayang, yuk kita
berangkat nanti kita ga dapet sayuran yang segar kalo kesiangan” sambil
mengusap lembut rambut Dila.
“Okedeh
Bunda..” sambil tersenyum hangat.
Dila tergolong anak
yang hiperaktif atau tidak bisa diam. Untuk ukuran anak dibawah 5 tahun, Dila
bisa digolongkan anak yang berani dan ekspresif dalam melakukan suatu tindakan.
Ia tak suka hanya berdiam diri di rumah, jika hal itu terjadi maka ia akan
menangis sepanjang hari. Maka dari itu, sang bunda mengajaknya pergi berbelanja
di supermarket.
15 menit kemudian, mereka sampai di supermarket tempat mereka
biasa berbelanja. Sang bunda pun menggenggam erat tangan malaikat kecilnya. Ia
tak ingin putrinya hilang saat ia lengah.
Awalnya Dila begitu nyaman, namun
lama-kelamaan ia merasa terkekang. Menurutnya, hanya berdiam diri disamping
bundanya yang sedang asik menawar sayuran merupakan hal yang sangat
membosankan. Tiba-tiba perhatian Dila pun tersita oleh tumpukan tahu kuning
yang berjajar rapih di atas baskom yang tak jauh dari tempat ia dan bundanya.
Selama berhari-hari Dila ke supermarket, baru kali ini ia melihat tumpukan tahu
kuning itu. Disaat sang bunda sibuk
memilih-milih sayuran yang akan dibeli, ia pun melepaskan tangannya dari
genggaman sang bunda dan segera menuju tumpukan tahu tersebut.
Sesampainya disana, ia
begitu terkagum dengan tumpukan tahu itu. Di amatinya satu per satu tahu kuning
itu dengan jeli dan seksama. Rasa keingintahuannya pun tak berhenti begitu
saja, ia mulai menjulurkan tangannya dan mencoba meraih tahu kuning itu. Ini
merupakan hal yang tak mudah baginya, postur tubuhnya yang kecil dan mungil
akan sangat sulit untuk menggapai tumpukan tahu kuning itu. Dengan bersusah
payah, akhirnya Dila pun berhasil mengambil satu tahu kuning. Di taruhnya tahu
kuning tersebut kedalam sebuah baskom kosong yg tepat berada disamping baskom
berisi tahu kuning tadi. Tak jauh dari baskom kosong tadi, ia melihat sebuah
sendok.
Seperti halnya balita lainnya,
ia pun mengambil sendok itu dan menusuk-nusuk tahu tersebut. Sedikitpun tak
terbesit dipikirannya jikalau sang bunda memarahinya. Di aduk-aduknya tahu kuning tersebut hingga hancur layaknya
seorang chef professional. Tanpa sadar sang bunda telah berada di belakangnya,
“Dila,
kamu lagi ngapain?” ucap bunda dengan penuh tanya. Dila pun
hanya bisa tercengang tanpa mengeluarkan satu kata pun.
“Ya
ampun, apa yang kamu lakukan? Ayoo kita pulang”
ucap bunda dengan nada tinggi. Beruntung saat itu tak ada petugas supermarket
yang melihat kejadian itu.
Saat itu Dila hanya
bisa menangis, ia tak mengerti mengapa tiba-tiba saja bundanya memarahinya.
Sang bunda pun segera menasehatinya agar tidak melakukan lagi tindakan
memalukan itu. Dila pun mengangguk tanda menyetujui perkataan sang bunda.
Keesokan harinya, sang bunda
pergi ke supermarket lagi. Melihat hal tersebut, Dila pun merengek agar diajak
ke supermarket. Sang bunda pun tak tega melihat putri kecilnya berlinang air
mata. Lalu, diajaklah Dila bersamanya. Sesampainya disana, sang bunda pun
memperingatkannya perihal peristiwa kemarin dan Dila pun berjanji tidak akan
mengulanginya lagi. Namun, ketika Dila melihat tumpukan tahu kuning itu lagi ia
merasa terpanggil. Seolah-olah tahu kuning itu menyuruhnya mendatanginya. Tanpa
mengingat perkataan ibunya, Dila melakukan hal yang sama seperti yang ia
lakukan kemarin. Namun beruntung, sang bunda tak menyadari perbuatannya. Ketika
ia sudah mengaduk-aduk tahu kuning itu, ia segera menghampiri bundanya tanpa
mengeluarkan satu patah kata pun.
Hal ini terus ia
lakukan setiap ia dan bundanya pergi ke supermarket tanpa diketahui oleh
siapapun. Hingga suatu saat, ketika ia sedang asyik mengaduk-aduk tahu kuning
seorang lelaki bertubuh tegap dan besar menepuk pundaknya. Dila pun tersentak
dan menoleh kearah lelaki tersebut yang tak lain adalah seorang petugas
keamanan supermarket tersebut.
“Hey,
Apa yang kamu lakukan? Mana Ibumu? Berani sekali kamu mengaduk-aduk tahu kuning
ini!” ucap petugas keamanan supermarket dengan lantang.
Tak lama, Bunda pun datang dan segera menghampiri Dila yang sedang ketakutan
dan menangis terisak-isak.
“Ada
apa ini pak? Kenapa anak saya menangis?”
“Ohh
jadi ini anak ibu? Dia telah mengaduk-aduk tahu kuning ini”
sambil menunjuk baskom berisi tahu kuning yang telah hancur.
“Benar
itu Dila?” sambil menoleh ke arah Dila. Namun Dila hanya bisa
menunduk sambil menyekat air mata yang masih tersisa di sudut matanya.
“Baik
pak, saya akan membayar tahu kuning itu.. maafkan tindakan anak saya ya pak”
“Baik
bu, tolong anaknya diperhatikan dengan baik agar tidak melakukan
tindakan-tindakan seperti ini lagi, selamat siang” lalu
petugas keamanan tersebut pergi meninggalkan mereka.
Sang bunda pun membawa
Dila pulang, ia tak habis pikir kenapa putrinya bisa melakukan hal itu lagi. Padahal
ia sudah menasehatinya berulang kali, tapi tetap saja Dila mengabaikannya. Sang
bunda pun melaporkan hal ini kepada Ayah Dila. Sang bunda tak tahan lagi
melihat pola tingkah anaknya yang sudah kelewat batas. Untuk itu mereka berdua
sepakat untuk mendaftarkan Dila ke Taman Kanak-kanak.
Sesampainya di salah satu Taman Kanak-kanak, Dila tidak
diperbolehkan bersekolah disana. Menurut kepala yayasan, umur Dila dianggap
belum memenuhi syarat untuk menjadi murid Taman Kanak-kanak. Untuk itu, kepala
yayasan Taman Kanak-kanak menyarankan agar Dila di masukkan ke playgroup dahulu
kemudian baru melanjutkan ke Taman Kanak-kanak. Kedua orang tua Dila pun
menyetujuinya. Begitu pun dengan Dila, dia amat menantikan masa-masa duduk
dibangku sekolah. Hingga hari itu pun datang, dimana pertama kalinya ia
merasakan bersosialisasi dengan teman-teman barunya yang sebaya dengannya.
Dengan begitu, Dila menginjak bangku sekolah setahun lebih cepat dari anak-anak
yang sebaya dengannya.
Namun, ini bukan suatu
hal yang membebankan mentalnya. Menurutnya berada di keramaian bersama
teman-teman sebayanya adalah kebahagian yang selama ini ia cari.
**TAMAT**