Selasa, 22 Juli 2014

Setahun Lebih Cepat

Oia berhubung post kali ini jatuh di bulan ramadhan, gue mau ngucapin Selamat Menunaikan Ibadah Puasa untuk umat muslim yang sedang menjalankan ^^

Umnn berhubung ini waktu menjelang berbuka, gue memutuskan untuk ngabuburit disini aja (alah bilang aja cel ga ada yang ngajak) *prokprokprok*




Jadi ceritanya gue baru aja nemu cerpen jaman kelas 12 buatan gue. Iyaa, jadi dulu guru Bahasa Indonesia gue nugasin buat bikin cerpen gitu tapi berdasarkan pengalaman pribadi teman kita. Ya demi menjaga harkat martabat si empunya cerita, namanya gue samarkan...



So, check this out!!

 

Setahun Lebih Cepat



Matahari mulai beranjak naik, Dila begitu bersemangat seolah-olah ini merupakan peristiwa yang baru pertama kali ia alami. Seperti hari-hari sebelumnya, Dila akan diajak oleh Bunda pergi ke sebuah supermarket.

“Bunda, kita jadi pergi ke supermarket kan?” ucap Dila dengan polos dan penuh harap. “Iya sayang, yuk kita berangkat nanti kita ga dapet sayuran yang segar kalo kesiangan” sambil mengusap lembut rambut Dila.
“Okedeh Bunda..” sambil tersenyum hangat.

Dila tergolong anak yang hiperaktif atau tidak bisa diam. Untuk ukuran anak dibawah 5 tahun, Dila bisa digolongkan anak yang berani dan ekspresif dalam melakukan suatu tindakan. Ia tak suka hanya berdiam diri di rumah, jika hal itu terjadi maka ia akan menangis sepanjang hari. Maka dari itu, sang bunda mengajaknya pergi berbelanja di supermarket.

15 menit kemudian,  mereka sampai di supermarket tempat mereka biasa berbelanja. Sang bunda pun menggenggam erat tangan malaikat kecilnya. Ia tak ingin putrinya hilang saat ia lengah.

 Awalnya Dila begitu nyaman, namun lama-kelamaan ia merasa terkekang. Menurutnya, hanya berdiam diri disamping bundanya yang sedang asik menawar sayuran merupakan hal yang sangat membosankan. Tiba-tiba perhatian Dila pun tersita oleh tumpukan tahu kuning yang berjajar rapih di atas baskom yang tak jauh dari tempat ia dan bundanya. Selama berhari-hari Dila ke supermarket, baru kali ini ia melihat tumpukan tahu kuning itu.  Disaat sang bunda sibuk memilih-milih sayuran yang akan dibeli, ia pun melepaskan tangannya dari genggaman sang bunda dan segera menuju tumpukan tahu tersebut.

Sesampainya disana, ia begitu terkagum dengan tumpukan tahu itu. Di amatinya satu per satu tahu kuning itu dengan jeli dan seksama. Rasa keingintahuannya pun tak berhenti begitu saja, ia mulai menjulurkan tangannya dan mencoba meraih tahu kuning itu. Ini merupakan hal yang tak mudah baginya, postur tubuhnya yang kecil dan mungil akan sangat sulit untuk menggapai tumpukan tahu kuning itu. Dengan bersusah payah, akhirnya Dila pun berhasil mengambil satu tahu kuning. Di taruhnya tahu kuning tersebut kedalam sebuah baskom kosong yg tepat berada disamping baskom berisi tahu kuning tadi. Tak jauh dari baskom kosong tadi, ia melihat sebuah sendok.

Seperti halnya balita lainnya, ia pun mengambil sendok itu dan menusuk-nusuk tahu tersebut. Sedikitpun tak terbesit dipikirannya jikalau sang bunda memarahinya. Di aduk-aduknya  tahu kuning tersebut hingga hancur layaknya seorang chef professional. Tanpa sadar sang bunda telah berada di belakangnya,
“Dila, kamu lagi ngapain?” ucap bunda dengan penuh tanya. Dila pun hanya bisa tercengang tanpa mengeluarkan satu kata pun.
“Ya ampun, apa yang kamu lakukan? Ayoo kita pulang” ucap bunda dengan nada tinggi. Beruntung saat itu tak ada petugas supermarket yang melihat kejadian itu.

Saat itu Dila hanya bisa menangis, ia tak mengerti mengapa tiba-tiba saja bundanya memarahinya. Sang bunda pun segera menasehatinya agar tidak melakukan lagi tindakan memalukan itu. Dila pun mengangguk tanda menyetujui perkataan sang bunda.

Keesokan harinya, sang bunda pergi ke supermarket lagi. Melihat hal tersebut, Dila pun merengek agar diajak ke supermarket. Sang bunda pun tak tega melihat putri kecilnya berlinang air mata. Lalu, diajaklah Dila bersamanya. Sesampainya disana, sang bunda pun memperingatkannya perihal peristiwa kemarin dan Dila pun berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Namun, ketika Dila melihat tumpukan tahu kuning itu lagi ia merasa terpanggil. Seolah-olah tahu kuning itu menyuruhnya mendatanginya. Tanpa mengingat perkataan ibunya, Dila melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan kemarin. Namun beruntung, sang bunda tak menyadari perbuatannya. Ketika ia sudah mengaduk-aduk tahu kuning itu, ia segera menghampiri bundanya tanpa mengeluarkan satu patah kata pun.

Hal ini terus ia lakukan setiap ia dan bundanya pergi ke supermarket tanpa diketahui oleh siapapun. Hingga suatu saat, ketika ia sedang asyik mengaduk-aduk tahu kuning seorang lelaki bertubuh tegap dan besar menepuk pundaknya. Dila pun tersentak dan menoleh kearah lelaki tersebut yang tak lain adalah seorang petugas keamanan supermarket tersebut.

“Hey, Apa yang kamu lakukan? Mana Ibumu? Berani sekali kamu mengaduk-aduk tahu kuning ini!” ucap petugas keamanan supermarket dengan lantang. Tak lama, Bunda pun datang dan segera menghampiri Dila yang sedang ketakutan dan menangis terisak-isak.
“Ada apa ini pak? Kenapa anak saya menangis?”
“Ohh jadi ini anak ibu? Dia telah mengaduk-aduk tahu kuning ini” sambil menunjuk baskom berisi tahu kuning yang telah hancur.
“Benar itu Dila?” sambil menoleh ke arah Dila. Namun Dila hanya bisa menunduk sambil menyekat air mata yang masih tersisa di sudut matanya.
“Baik pak, saya akan membayar tahu kuning itu.. maafkan tindakan anak saya ya pak”
“Baik bu, tolong anaknya diperhatikan dengan baik agar tidak melakukan tindakan-tindakan seperti ini lagi, selamat siang” lalu petugas keamanan tersebut pergi meninggalkan mereka.

Sang bunda pun membawa Dila pulang, ia tak habis pikir kenapa putrinya bisa melakukan hal itu lagi. Padahal ia sudah menasehatinya berulang kali, tapi tetap saja Dila mengabaikannya. Sang bunda pun melaporkan hal ini kepada Ayah Dila. Sang bunda tak tahan lagi melihat pola tingkah anaknya yang sudah kelewat batas. Untuk itu mereka berdua sepakat untuk mendaftarkan Dila ke Taman Kanak-kanak.

Sesampainya  di salah satu Taman Kanak-kanak, Dila tidak diperbolehkan bersekolah disana. Menurut kepala yayasan, umur Dila dianggap belum memenuhi syarat untuk menjadi murid Taman Kanak-kanak. Untuk itu, kepala yayasan Taman Kanak-kanak menyarankan agar Dila di masukkan ke playgroup dahulu kemudian baru melanjutkan ke Taman Kanak-kanak. Kedua orang tua Dila pun menyetujuinya. Begitu pun dengan Dila, dia amat menantikan masa-masa duduk dibangku sekolah. Hingga hari itu pun datang, dimana pertama kalinya ia merasakan bersosialisasi dengan teman-teman barunya yang sebaya dengannya. Dengan begitu, Dila menginjak bangku sekolah setahun lebih cepat dari anak-anak yang sebaya dengannya.


Namun, ini bukan suatu hal yang membebankan mentalnya. Menurutnya berada di keramaian bersama teman-teman sebayanya adalah kebahagian yang selama ini ia cari.    




**TAMAT**